Minggu, 14 Juni 2009

global warming

Sejak dikenalnya ilmu mengenai iklim, para ilmuwan telah mempelajari bahwa ternyata iklim di Bumi selalu berubah. Dari studi tentang jaman es di masa lalu menunjukkan bahwa iklim bisa berubah dengan sendirinya, dan berubah secara radikal. Apa penyebabnya? Meteor jatuh? Variasi panas Matahari? Gunung meletus yang menyebabkan awan asap? Perubahan arah angin akibat perubahan struktur muka Bumi dan arus laut? Atau karena komposisi udara yang berubah? Atau sebab yang lain?

Sampai baru pada abad 19, maka studi mengenai iklim mulai mengetahui tentang kandungan gas yang berada di atmosfer, disebut sebagai gas rumah kaca, yang bisa mempengaruhi iklim di Bumi. Apa itu gas rumah kaca?

Sebetulnya yang dikenal sebagai ‘gas rumah kaca’, adalah suatu efek, dimana molekul-molekul yang ada di atmosfer kita bersifat seperti memberi efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri, seharusnya merupakan efek yang alamiah untuk menjaga temperatur permukaaan Bumi berada pada temperatur normal, sekitar 30°C, atau kalau tidak, maka tentu saja tidak akan ada kehidupan di muka Bumi ini.

Pada sekitar tahun 1820, bapak Fourier menemukan bahwa atmosfer itu sangat bisa diterobos (permeable) oleh cahaya Matahari yang masuk ke permukaan Bumi, tetapi tidak semua cahaya yang dipancarkan ke permukaan Bumi itu bisa dipantulkan keluar, radiasi merah-infra yang seharusnya terpantul terjebak, dengan demikian maka atmosfer Bumi menjebak panas (prinsip rumah kaca).

Tiga puluh tahun kemudian, bapak Tyndall menemukan bahwa tipe-tipe gas yang menjebak panas tersebut terutama adalah karbon-dioksida dan uap air, dan molekul-molekul tersebut yang akhirnya dinamai sebagai gas rumah kaca, seperti yang kita kenal sekarang. Arrhenius kemudian memperlihatkan bahwa jika konsentrasi karbon-dioksida dilipatgandakan, maka peningkatan temperatur permukaan menjadi sangat signifikan.

Semenjak penemuan Fourier, Tyndall dan Arrhenius tersebut, ilmuwan semakin memahami bagaimana gas rumah kaca menyerap radiasi, memungkinkan membuat perhitungan yang lebih baik untuk menghubungkan konsentrasi gas rumah kaca dan peningkatan Temperatur. Jika konsentrasi karbon-dioksida dilipatduakan saja, maka temperatur bisa meningkat sampai 1°C.

Tetapi, atmosfer tidaklah sesederhana model perhitungan tersebut, kenyataannya peningkatan temperatur bisa lebih dari 1°C karena ada faktor-faktor seperti, sebut saja, perubahan jumlah awan, pemantulan panas yang berbeda antara daratan dan lautan, perubahan kandungan uap air di udara, perubahan permukaan Bumi, baik karena pembukaan lahan, perubahan permukaan, atau sebab-sebab yang lain, alami maupun karena perbuatan manusia. Bukti-bukti yang ada menunjukkan, atmosfer yang ada menjadi lebih panas, dengan atmosfer menyimpan lebih banyak uap air, dan menyimpan lebih banyak panas, memperkuat pemanasan dari perhitungan standar.

Sejak tahun 2001, studi-studi mengenai dinamika iklim global menunjukkan bahwa paling tidak, dunia telah mengalami pemanasan lebih dari 3°C semenjak jaman pra-industri, itu saja jika bisa menekan konsentrasi gas rumah kaca supaya stabil pada 430 ppm CO2e (ppm = part per million = per satu juta ekivalen CO2 - yang menyatakan rasio jumlah molekul gas CO2 per satu juta udara kering). Yang pasti, sejak 1900, maka Bumi telah mengalami pemanasan sebesar 0,7°C.

Lalu, jika memang terjadi pemanasan, sebagaimana disebut; yang kemudian dikenal sebagai pemanasan global, (atau dalam istilah populer bahasa Inggris, kita sebut sebagai Global Warming): Apakah merupakan fenomena alam yang tidak terhindarkan? Atau ada suatu sebab yang signfikan, sehingga menjadi ‘populer’ seperti sekarang ini? Apakah karena Al Gore dengan filmnya “An Inconvenient Truth” yang mempopulerkan global warming? Tentunya tidak sesederhana itu.

Perlu kerja-sama internasional untuk bisa mengatakan bahwa memang manusia-lah yang menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global. Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2007, menunjukkan bahwa secara rata-rata global aktivitas manusia semenjak 1750 menyebabkan adanya pemanasan. Perubahan kelimpahan gas rumah kaca dan aerosol akibat radiasi Matahari dan keseluruhan permukaan Bumi mempengaruhi keseimbangan energi sistem iklim. Dalam besaran yang dinyatakan sebagai Radiative Forcing sebagai alat ukur apakah iklim global menjadi panas atau dingin (warna merah menyatakan nilai positif atau menyebabkan menjadi lebih hangat, dan biru kebalikannya), maka ditemukan bahwa akibat kegiatan manusia-lah (antropogenik) yang menjadi pendorong utama terjadinya pemanasan global (Gb.1).


dikutip dari www.langitselatan.com

boys before flower


nee dy serial korea yang lgi gw ska, ska, ska, ska, ska bd,,
hhe
sbenernya film nee dah lgsung ktwan c jln crta na,,
c0z nee khan remake dari comic hana yori dango,,
jadi dah ktawan dunn sypa pndahulu na,,
hha,,
tpi klu kawand2 pda mw nton jg pzti g khan nysel c,,
coz film na nee g bsa dtbak kisah antra Geum Jan di-Goo Jun Pyo (tokoh utama) natuch,,
dah gtu yang maen na lucu-lucu lg,,
jd djamin bd d g nysel..

hee promosi gtu,,

boys before flower

GERD

Belum banyak orang Indonesia yang mengetahui tentang GERD (Gastroesophageal Reflux Disease). Umumnya penyakit yang berkaitan dengan asam lambung selalu dikira sebagai dyspepsia atau maag. Padahal GERD adalah penyakit kronik yang bisa mengakibatkan kanker kerongkongan atau kanker lambung.

"Asam lambung bisa naik dan mengakibatkan perlukaan di kerongkongan. Lama-lama bisa menjadi kanker kerongkongan," kata dokter ahli penyakit dalam dan konsultan penyakit lambung dan pencernaan Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM dr H Ari Fahrial Syam SpPD KGEH, MMB di Jakarta, Senin (4/5).

GERD merupakan kondisi adanya aliran balik dari isi lambung ke kerongkongan yang menyebabkan gejala yang mengganggu hingga terjadi komplikasi.

Aliran balik asam lambung ke kerongkongan tidak hanya menjadi pemicu sindrom GERD (seperti naiknya aliran isi lambung ke kerongkongan atau regurgitasi ataupun nyeri dada seperti terbakar, heartburn) tetapi juga menyebabkan luka pada kerongkongan atau esofagitis. Alur balik isi lambung ini juga dilaporkan bisa menyebabkan atypical syndrome (seperti asthma reflux) yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari dan sulit diobati.

GERD yang tidak diterapi dengan baik dapat menyebabkan terjadinya komplikasi antara lain yaitu penyempitan kerongkongan, pendarahan kerongkongan dan kondisi yang disebut Barrett's esophagus (terjadi pembentukan jaringan pada dinding kerongkongan seperti yang ditemukan dalam usus) . Jika hal ini terjadi, perjalanan penyakit ini berhubungan dengan kanker kerongkongan.

"Saat ini di Indonesia belum ada angka yang pasti mengenai jumlah pednerita GERD, tetapi dari hospital base yang dapat ditelusuri ada sekitar 20 persen dari total pasien yang datang ke De partemen Ilmu Penyakit Dalam menyampaikan keluhan gejala GERD dari ringan hingga parah," kata dr Ari.

Faktor risiko penyakit GERD ini antara lain, obesitas, tidur terlentang (usai makan langsung tidur), merokok, alkohol, kopi dan stres.

"Kopi meningkatkan asam lambung, begitu juga stress. Jika ada sesuatu yang tidak beres di otak, maka otak memerintah lambung untuk memproduksi asam lambung," kata dr Ari.

dr Mary Josephine dari PT AstraZeneca Indonesia mengatakan, dibandingkan dengan negara lain di Asia, Filipina 17 persen dan Taiwan 13 persen, maka hanya sekitar satu persen penduduk Indonesia yang mengenal apa itu GERD walaupun mereka sebenarnya telah menderita GERD selama bertahun-tahun sebelum akhirnya tahu bahwa ada solusi yang sederhana untuk mel egakan rasa sakit mereka.


dikutip dari Harian Kompas, Senin 4 Mei 2009

Lombok I'm coming

Taman Nasional Gunung Rinjani

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bermarkas di New York, menetapkan tahun 2002 sebagai tahun Ekowisata, Gunung Berapi Internasional, dan Warisan Budaya. Tema utama yang diusung itu terasa tepat di tengah maraknya kerusakan lingkungan, yang berakibat buruk bagi kehidupan manusia.

Di Indonesia, Presiden Megawati meresponnya dengan Pencanangan Tahun Ekowisata 2002, yang peresmiannya dilaksanakan di Puncak Selo, Kabupaten Boyolali, tepatnya di celah Gunung Merapi-Merbabu. Gerakan nasional ini mencerminkan kepedulian dunia pariwisata terhadap kelestarian lingkungan.

Secara sederhana, ecotourism atau sering disebut ekowisata merupakan sebuah produk pariwisata yang memanfaatkan aset alam dan lingkungan secara arif dan bijaksana. Sehingga kekayaan serta


Keindahan Laut Gili Trawangan
Gili Trawangan adalah yang terbesar dari ketiga pulau kecil atau gili yang terdapat di sebelah barat laut Lombok. Trawangan juga satu-satunya gili yang ketinggiannya di atas permukaan laut cukup signifikan. Dengan panjang 3 km dan lebar 2 km, Trawangan berpopulasi sekitar 800 jiwa. Di antara ketiga gili tersebut, Trawangan memiliki fasilitas untuk wisatawan yang paling beragam; kedai "Tîr na Nôg" mengklaim bahwa Trawangan adalah pulau terkecil di dunia yang ada bar Irlandia-nya. Bagian paling padat penduduk adalah sebelah timur pulau ini.

Trawangan punya nuansa "pesta" lebih daripada Gili Meno dan Gili Air, karena banyaknya pesta sepanjang malam yang setiap malamnya dirotasi acaranya oleh beberapa tempat keramaian. Aktivitas yang populer dilakukan para wisatawan di Trawangan adalah scuba diving (dengan sertifikasi PADI), snorkeling (di pantai sebelah timur laut), bermain kayak, dan berselancar. Ada juga beberapa tempat bagi para wisatawan belajar berkuda mengelilingi pulau.

Di Gili Trawangan (begitu juga di dua gili yang lain), tidak terdapat kendaraan bermotor, karena tidak diizinkan oleh aturan lokal.
Sarana transportasi yang lazim adalah sepeda (disewakan oleh masyarakat setempat untuk para wisatawan) dan cidomo, kereta kuda sederhana yang umum dijumpai di Lombok. Untuk bepergian ke dan dari ketiga gili itu, penduduk biasanya menggunakan kapal bermotor dan speedboat.

hang out with my friends

senenk bd biz b'bT-bT ria, truz kmpul ma kawand-kawand,,
hha..
senank na